Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu
kita akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf
mingguan. Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul
adha, merupakan dua hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim
se-dunia.
Dalam Islam kita
mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita akan bertemu
dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan. Untuk level
tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua hari
kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia. Mengenai Ied
yang pertama (Idul fitri) lumrahnya kita lebih perhatian dalam menyambut
kedatangannya dan merasakan lebih semarak dalam setiap kali
memperingatinya.
Idul fitri yang dirayakan pada setiap
tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan
dengan Idul adha yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebab jatuhnya
Idul fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah
puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal kita seakan-akan
merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ibadah
lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul fitri adalah
zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari
raya sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi
Islam. Zakat yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses
pemerataan kepemilikan ini, pelaksanaannya tidak lain merupakan
perpindahan harta yang dimiliki oleh kalangan orang-orang kaya ke tangan
orang-orang yang tidak berdaya, tentunya dengan beberapa syarat dan
catatan yang dikupas secara detail dalam kajian fiqh. Diantara hikmah
disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari Idul fitri adalah
agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari kalangan mampu
dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang memiliki
kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan zakat
fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang.
Dari
sini penulis merasa perlu untuk me-reaktualisasi makna penyambutan
datangnya hari raya Idul fitri itu sendiri, yang terkadang tanpa
disadari maknanya telah dicupetkan oleh sebagian kalangan dan atau
bahkan disalah artikan. Saya yakin bahwa essensi Idul fitri itu sendiri
bukan hanya sekedar media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu,
kerabat, atau teman-teman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah
di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah),
menyantap ketupat serta aneka macam makanan dan minuman lainnya. Akan
tetapi lebih dari itu, rasa kepekaan sosial semestinya harus lebih
dititik beratkan, atau dengan kata lain perhatian kita pada realisasi
zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih ditonjolkan Sebab
pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat menghapus
penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan motivasi
kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang (kekosongan) akibat
dari konflik.
Di belahan bumi ini masih banyak kita
temukan saudara-saudara se-iman yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Baik itu disebabkan oleh ketidak stabilan politik dan perekonomian,
maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya manusia. Tengoklah
misalnya di negara Afganisthan, Irak, dan Bosnia yang sampai saat ini
rakyatnya terus dirundung ketidak jelasan nasib dan keburaman sosial
yang diakibatkan tidak stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara.
Di
berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan
mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam
mengisi harian surat kabar dan layar televisi rumah kita. Realitas buruk
ini tidak cukup dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali
keterpurukan politik dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi
sumber utama kesengsaraan, sementara kita yang menjadi saudara
se-imannya hanya sibuk dengan urusan pribadi bahkan dengan kebahagiaan
nisbi dalam perayaan-perayaan. Justru adanya langkah nyata dari kita lah
yang akan membantu mengeluarkan mereka dari belenggu kesengsaraan,
tentunya dengan bantuan baik berupa moril maupun materil. Dan zakat
fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil yang bisa kita
salurkan kepada mereka. Apalah artinya kalau kita berbahagia bersama
anak cucu, karabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang notebene
saudara se-iman justru merasakan suasana kebalikannnya. Akankah fenomena
kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat menghantui
mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga sama
sekali tidak membangkitan rasa peduli kita ? atau bahkan kita akan
menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka
dalam menjalani kehidupan berbangsa ? Sungguh sangat naif kalau dalam
diri kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rasul saw pernah
mengingatkan umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, “ bahwa
kemiskinan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran “. Apakah
kita rela kekufuran akan mengganti intisari keimanan mereka ? Bukankah
Rasul Saw juga pernah bersabda bahwa “ orang yang tidak peduli dengan
kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya “. Dari hadist ini
saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk kepasifan kita dalam
melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya
kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.
Di sisi lain
komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan
menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu
tujuan pokok Islam.
Para fuqaha (pakar hukum Islam)
secara aklamasi telah menyepakati bahwa adalah fardlu kifayah (kewajiban
kolektif) hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin Kalau demikian adanya, mengapa
pada kesempatan Idul fitri kali ini nurani kita tidak tergugah untuk
melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara se-iman yang hidup
dalam belenggu kesengsaraan.
Sekali lagi, makna Idul
fitri bukan hanya “perayaan†sepihak, hari raya ini bukan milik
segelintir orang saja akan tetapi kebahagiaan tersebut harus dirasakan
oleh seluruh elemen masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia lintas
profesi dan tingkat strata sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar