Selasa, 22 Mei 2012


1. Hal-Hal yang Haram Bagi Wanita yang Haidh dan Nifas

Diharamkan atas perempuan yang haidh dan yang nifas apa saja yang diharamkan atas orang yang berhadas.


- Puasa, yang harus diqadha ketika telah suci.
Dari Mu’adzah ia bertanya kepada Aisyah r.a., “Mengapa perempuan yang haidh, hanya mengqadha puasa, dan tidak (mau) mengqadha’ shalat?” Maka jawab Aisyah, “Yang demikian itu terjadi pada diri kami (ketika) bersama Rasulullah, yaitu agar kami mengganti puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 265 no: 335 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari I: 421 no: 321, Tirmidzi 1: 87 no: 130, ‘Aunul Ma’bud: 444 no: 259 dan Ibnu Majah I: 207 no: 631).

- Jima’ melalui vagina, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt., "Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu. Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).

Di samping itu ada sabda Nabi saw., “Lakukanlah segala sesuatu (terhadap istrimu), kecuali jima.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no: 302, ‘Aunul Ma’bud I:439 no:255, Tirmidzi IV:282 no:4060, Ibnu Majah I:211 no:644 dan Nasa’i I:152”).

Hukum Orang yang Bercampur dengan Perempuan yang Haidh
Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim 111:204 mengatakan, “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan perempuan yang sedang haidh melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, yaitu jika ia melakukannya karena lupa, atau karena tidak mengetahui keluarnya daerah haidh atau tidak tahu, bahwa hal tersebut haram, atau karena dia dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarah. Namun, jika ia mencampuri perempuan yang haidh dengan sengaja dan tahu, bahwa dia sedang haidh dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran, maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii, bahwa perbuatannya adalah dosa besar, dan ia wajib bertaubat. Adapun mengenai kewajiban membayar kaffarah ada dua pendapat”. Selesai.

Menurut hemat penulis, bahwa pendapat yang rajih(kuat) ialah pendapat yang mewajibkan bayar kaffarah, karena ada hadits Ibnu Abbas Dari Nabi saw. tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haidh, Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 523, ‘Aunul Ma’bud 1: 445 no:261, Nasai’i I: 153, Ibnu Majah 1:2 10 no: 640).

Takhyir menentukan pilihan yang tertuang dalam hadits di atas dikembalikan kepada perbedaan antara jima’ di awal haidh atau akhir waktu haidh. Hal ini mengacu kepada riwayat dari Ibnu Abbas r.a. secara mauquf ia berkata, “Jika ia bercampur dengan isterinya di awal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah satu dinar, dan jika di akhir keluarnya darah, maka setengah dinar.” (Shahih mauquf: Shahih. Abu Daud no: 238 dan ‘Aunul Ma’bud I: 249 no: 262).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar